REVIEW NOVEL:O
Rumah Kita, Selasa (7/7/2020) Judul : O Penulis : Eka Kurniawan Tebal : 470 halaman "Enggak Gampang Menjadi Manusia&quo...

http://www.pokja-rumahkita.id/2020/07/review-novelo.html
Rumah Kita, Selasa (7/7/2020)
Judul
: O
Penulis
: Eka Kurniawan
Tebal
: 470 halaman
"Enggak
Gampang Menjadi Manusia"
Kalimat pertama yang digunakan
Eka Kurniawan untuk memulai ceritanya. Tentu saja, berhasil menarik perhatian
karena kalimat itu diucapkan oleh seekor monyet bernama O, sang pemeran utama.
O juga tokoh yang menjadi penghubung antara tokoh yang satu dengan banyak tokoh
yang lainnya.
Cara penulisan Eka yang
menggunakan orang ketiga mendorong untuk memikirkan hal tersebut. Sebagai yang
mengamati, melihat dan mengikuti langkah jalan cerita novel ini. Pemilihan
sudut pandang sangat tepat dikarenakan
banyaknya tokoh yang terlibat didalam novel ini.
Ada banyak tokoh dalam novel
ini, setidaknya 30 tokoh dan semuanya diberikan ceritanya masing-masing oleh
Eka, walau judul novel ini nama sang tokoh, si monyet. Membacanya serasa
membaca cerpen yang disajikan sepenggal-penggal namun saling merajut cerita. Seperti kegiatan merajut, membaca novel ini
juga butuh kesabaran namun tidak membosankan.
Membaca kisah setiap tokoh yang
dipenggal-penggal membuat semakin penasaran dan tidak jenuh dengan alur cerita.
Alur yang digunakan alur maju mundur. Dibagian awal sering muncul pertanyaan
'Lah kenapa tiba-tiba begini?'. Semakin dibaca jadi mengerti bahwa Eka menyajikan
akibat sebuah masalah dahulu baru diceritakan sebabnya.
Bercerita melalui
penggalan-penggalan cerita yang kita susun sendiri dikepala kita hingga
terbentuk menjadi cerita yang utuh. Bahasa yang digunakan bahasa sehari-hari.
Membaca novel O karya Eka
Kurniawan membuat bertanya-tanya sebenarnya sampai dibatas mana perbedaan
manusia dan binatang.
Pemikiran ini muncul
dikarenakan keputusan kekasih hati si monyet O, Entang Kosasih, yang memilih
menjadi monyet dengan caranya sendiri. Didasari oleh cerita para tetua monyet
yang menyatakan bahwa monyet bisa menjadi manusia dengan cara ikut dalam sirkus
topeng monyet.
Bagi Entang Kosasih tidak
demikian, dia memilih cara belajar langsung dari manusia. Sial bagi si manusia,
Sobar seorang polisi, yang pistolnya dicuri si monyet dan secara tidak langsung
mengajari si monyet menembak dan mengakibatkan temannya terbunuh.
Dari sebuah cerita turun
temurun merajut benang merah dengan berbagai cerita masa lalu setiap tokoh
dalam novel ini. Membaca novel ini juga merefleksi dan memikirkan tidak ada
kebetulan yang muncul secara tiba-tiba. Tidak ada kejadian karena keajaiban
tanpa melihat masa lalu.
Cerita keyakinan tokoh O bahwa
kekasihnya berhasil jadi manusia dalam wujud kaisar dangdut yang terkenal
membuat ia juga bertekad menjadi manusia. Mengikuti cerita turun temurun mereka
melalui topeng monyet. Bertemu dengan tokoh-tokoh lainnya dan mulai merajut
benang merah antar mereka. Kirik, si anjing.
Betalumur, sang pawang. Mimi, si pengamen. Rini Juwita, seorang istri yang
tertekan batin, termasuk Entang Kosasih, sang kaisar dangdut.
Ada bagian yang menceritakan
bagaimana kesabaran dan ketekunan O untuk menjadi manusia. walau dicambuk dan
jarang diberikan makan oleh sang pawang, dia tidak lari. Seekor monyet yang punya mimpi dan tujuan
hidup. Lalu mempertanyakan ke diri sendiri, sulitnya untuk menentukan tujuan
hidup.
Menyoalkan tujuan hidup ini
bukan hanya dimiliki tokoh hewan si monyet, O. Si burung kakatua, kirik si
anjing juga memiliki tujuan hidup mereka masing-masing. Lalu buat
bertanya-tanya kembali apa beda hewan dengan manusia?
Kisah cinta dari berbagai sudut
pandang meminta untuk direnungkan. Cinta sesama binatang. Binatang ke manusia
dan sebaliknya. Sesama manusia (lelaki dan perempuan bahkan lelaki dengan
lelaki). Cinta persahabatan yang berbeda misal Kirik, si anjing dan O, si
monyet juga penderitaan
Ada berbagai definisi bahagia
di dalamnya yang mengundang tanya pada diri sendiri. Bahagia seperti apa yang
kuinginkan, hidup dengan seseorang yang dicintai atau hidup bahagia karena
bermanfaat bagi makhluk lain. Dalam buku ini hal itu dianalogikan pada dialog
antara O dan Todak Merah.
Banyak realitas-realitas sosial
yang juga membangun cerita dalam novel
ini. Realitas di desa yang tanahnya direbut paksa oleh militer. Penembak misterius.
Kehidupan di kota Jakarta dari sisi kaum marjinal dan kuatnya tulisan MILIK
TENTARA REPUBLIK INDONESIA yang menandakan sekitar pada masa Soeharto.
Mitos-mitos yang berkembang di dunia
hewan dan manusia yang timbal balik. Seperti monyet yang bisa berubah menjadi
manusia. Manusia yang bisa berubah menjadi hewan.
Novel ini menghibur berhasil
membuat senyum-senyum dan tertawa sendiri. Apalagi jika sudah sampai pada
cerita tentang kelakuan manusia didalamnya yang bahkan hewan saja muak melihat
tingkah lakunya. Sekilas mengingatkan pada novel George Orwell yang berjudul
Animal Farm, bercerita hewan berkelakuan seperti manusia: menindas.
Membaca novel ini sekilas seperti
dongeng, tapi dongeng yang 'berat' sebab penuh kritik. Membuat pembacanya mempertanyakan
dan merenungkan. Hewan ataupun benda mati, revolver dan kaleng sarden , yang
bisa berbicara dan memiliki sisi yang dimiliki manusia. Kelakukan manusia yang
seperti hewan. Adegan-adegan manusia yang berubah menjadi hewan. Terlebih lagi
diakhir cerita novel O juga ditutup dengan kalimat menarik seperti pembukanya.
“Huh, manusia. Dari sampah kembali ke
sampah”
Direview oleh: Novi S. Pasaribu & Romian