Berbuat Adil Sejak dari Pikiran: Latihan Sepanjang Hayat
Rumah Kita, Palu ( 12/5 2019) Ibu Nani memaparkan idenya pada Pelatihan Koordinator Lapangan yang dilaksanakan oleh PELKESI (4/4/2019) k...

http://www.pokja-rumahkita.id/2019/05/berbuat-adil-sejak-dari-pikiran-latihan.html
Rumah Kita, Palu ( 12/5 2019)
Ibu Nani memaparkan idenya pada Pelatihan Koordinator Lapangan yang dilaksanakan oleh PELKESI (4/4/2019) kredit foto: Dina |
“Seorang
terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran,apalagi perbuatan,”
(Pramoedya AnantaToer). Bagi orang yang akrab dengan dunia sastra dan literasi
pasti sudah khatam ungkapan Pramoedya Ananta Toer di atas. Salah satu pesan kuat yang dituangkan dan diabadikan seorang maestro
sastra Indonesia yang dibenci rejim Orde Baru itu ditujukan kepada semua orang tetapi lebih ditekankan
pada kelompok yang telah menerima manfaat dari pendidikan.
Membacanya
mudah saja, implementasinya?
Sejak
November 2018 saya mulai berkegiatan di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Terjangan Tsunami;
guncangan gempa dan gulungan Likuifaksi yang mengubah wajah Sulawesi Tengah ini
adalah pemicu dari kehadiran saya di kota yang sangat panas ini. Saya bukan
relawan, saya pekerja disebuah lembaga yang fokus pada isu kesehatan masyarakat
pasca bencana (alam dan sosial). Bertugas sebagai staf informasi dan komunikasi
membawa saya kerap ke desa-desa tempat teman-teman tim medis melakukan
pengobatan dan berbagai penyuluhan di bidang kesehatan.
Sebelum
memutuskan bekerja di Palu ini saya mempertimbangkan beberapa hal. Mulai dari jarak
pulang ke kampung saya di Sumatera Utara hingga letak Kota Palu yang tidak jauh
dari Poso. Tempat yang belasan tahun lalu menurut media adalah lokasi teroris. Teror penembakan pada seorang Pendeta
di gereja GKST Efata,Palu oleh komplotan teroris pun telah kudengar sebelumnya.
Hanya bermodal keberanian dan keinginan belajar hal baru di tempat baru
akhirnya di sinilah saya sekarang.
Suatu hari saya berkunjung
ke sebuah desa di Kabupaten Sigi. Saya ditugasi menjadi co-fasilitator pada pelatihan
bagi Kader Posyandu di desa itu. Saya
melihat seorang Ibu dengan kerudung hitam dan memakai cadar menutupi hampir seluruh
wajahnya. Ia duduk tenang, tetapi saya sibuk dengan pikiran saya sendiri. Entah
apa saja yang muncul di pikiran saya saat itu tetapi yang pasti berkaitan
dengan terorisme dan foto-foto perempuan teroris yang pernah diungkap media
massa kita. Saya berusaha bertingkah biasa saja mengingat saya orang baru di
tempat ini.
Saya
berkenalan dan mengajak berbicara. Ia mau berbaur dengan tim kami yang saat itu
hampir semuanya berasal dari luar Sulawesi. Pada akhirnya ia bahkan
direkomendasikan Kepala Desa nya menjadi salah satu Koordinator Lapangan di
desanya. Koordinator Lapangan ini bertugas seperti organisatoris di tingkat
desa yang menjadi narahubung utama kami dalam persiapan berbagai kegiatan di
desa.
Di
awal setelah tahu Ibu Nani ternyata direkomendasikna Kepala Desanya menjadi
salah satu Koordinator lapangan saya sedikit cemas. “Apakah suaminya akan
mengijinkannya sering berinteraksi dengan kami dan banyak pihak lagi? Apakah Si
Ibu akan komunikatif? “dan sejumlah apakah lainnya timbul di pikiran saya yang
sempit. Sebab semua itu muncul tanpa dasar yang bisa kupertanggungjawabkan saat
itu.
Sudah
lima bulan berlalu sejak ia dipilih menjadi Koordinator Lapangan. Ibu Nani
benar-benar mengajar saya dengan tegas tentang bagaimana saya harus berbuat adil
sejak dari pikiran saya melalui keseriusannya melaksanakan berbagai tugas
sebagai koordinator lapangan. Ia adalah salah satu Koordinator Lapangan yang
paling gesit menyampaikan informasi, laporan dan situasi kepada kami. Setiap
kali kami butuh data, ia semangat membantu kami mencari data itu, setiap janji
bertemu atau janji rapat dengannya ia tidak pernah terlambat dan setiap rencana
tindak lanjut dari berbagai pelatihan/kegiatan yang kami adakan dengan
melibatkannya selalu langsung dikerjakan olehnya dan itu benar-benar sangat
membantu tugas saya dalam melengkapi dan analisa data.
Sejak
awal ia menunjukkan dedikasinya pada pelayanan di desanya dengan bekerja sama
dengan kami di sini. Saya merasa sangat bersalah dan berdosa telah menaruh
curiga di awal bertemu dan mengenalnya. Dalam doa saya telah mohon ampun pada
Tuhan yang saya kenal karena sudah berpikiran buruk padanya. Hingga kini
komunikasi dan kerja sama dengan beliau sangat baik dan mengesankan. Ia
memanggil saya “Adik kecil”. Saya tidak lagi punya pikiran negatif tentangnya atau
perempuan lain yang memilih berpakaian tertutup seperti Ibu Nani. Kembali saya
diingatkan bahwa pakaian perempuan/laki-laki tidak menjelaskan secara utuh
kepribadian mereka. Itu sebabnya stereotype terhadap suatu hal atau kelompok tertentu
memang harus dimusnahkan karena amat berbahaya dan kejam melakukan penghakiman
pada suatu hal/orang yang padahal kita sama sekali tidak kenal atau memahami
situasinya.
Selamat
belajar berbuat adil untuk kita semua, terimakasih Ibu Nani.
Penulis : Dina Mariana Lumban Tobing