Sudahkah Kita (Perempuan) Merdeka ?
Rumah Kita, Edisi 18 Agustus 2018 Sudahkah Kita (Perempuan) Merdeka ? Novi Septiana Pasaribu Setiap bulan Agustus di Indonesia s...

http://www.pokja-rumahkita.id/2018/08/sudahkah-kita-perempuan-merdeka.html
Rumah Kita, Edisi 18 Agustus 2018
Sudahkah Kita (Perempuan) Merdeka ?
Novi Septiana Pasaribu
Setiap bulan Agustus di
Indonesia selalu muncul pertanyaan terkait kemerdekaan. Pertanyaan refleksi
yang filosopis “Sudahkah kita merdeka?”.
Pertanyaan ini hadir tidak lepas dari kondisi nyata masyarakat kita sekarang
ini. Permasalahan soal kemiskinan yang terjadi dalam tiap perjalanan
kemerdekaan bangsa ini. Korupsi para elite mulai dari pusat menuju desa.
Pelayanan publik yang buruk di banyak wilayah di Indonesia. Penggusuran yang
semakin marak mengusir rakyat kecil dari tanahnya mendukung meningkatkan
pemiskinanan.
Masalah dan masalah
yang hidup disekitar masyarakat membuat refleksi mengenai “Sudahkah kita merdeka?” semakin menguat
disetiap tahunnya. Tentunya masyarakat kelas bawah paling banyak yang belum merasakan
‘kemerdekaan’ yang juga diperjuangkan oleh generasinya sebelumnya. Tapi jika
melihat lebih jauh ke dalam lagi ada sosok yang mengalami ‘penjajahan ganda’
yang sangat jauh dari makna kemerdekaan hari ini. Para perempuan adalah sosok
tersebut.
Memang jika melihat sekilas
sepertinya tidak ada ‘penjajahan ganda’
terhadap perempuan. Perempuan sudah memiliki hak sama untuk mengakses
pendidikan. Bisa berkerja di berbagai sektor. Banyak yang menjadi pemimpin di
tempat kerja atau organisasi. Perempuan yang menjadi presiden atau menteri.
Berbicara soal kemiskinan, bukankah dirasakan oleh lelaki dan perempuan. Tanah
yang tergusur juga dirasakan lelaki dan perempuan.
Perempuan Masih Terjajah
Lantas dimana letak
‘penjajahan ganda’ yang dialami oleh kaum perempuan? Perempuan belum sepenuhnya
diberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya. Perempuan dan urusan domestik
masih melekat sangat erat bahkan sampai sekarang. Jika seorang perempuan adalah
seorang istri yang juga bekerja untuk menghasilkan uang sering dianggap hanya
sebagai membantu ekonomi keluarga. Urusan domestik tetap menjadi keharusan dan
tanggungjawab para perempuan walaupun sudah lelah bekerja yang hasilnya
dinikmati bersama. Banyak dari perempuan yang bekerja di sektor perburuhan yang
haknya sering diabaikan dan dipandang rendah.
Berhubungan dengan
kelekatan antara urusan domestik dan perempuan mengakibatkan para perempuan
memiliki beban yang lebih berat apalagi saat ada masalah. Permasalahan penggusuran
yang mengakibatkan banyak keluarga
kehilangan rumah atau mata pencarian jika mereka adalah petani. Atau kondisi
alam yang semakin hari semakin mengkhawatirkan yang berdampak pada ekonomi
keluarga terutama petani. Karena ‘tanggungjawab’ domestik tadi perempuan tetap
harus memenuhi kebutuhan konsumsi dalam keluarga walau bagaimanapun caranya.
Jika perempuan berhasil
berprestasi seperti memenangkan perlombaan, menjadi pembicara dalam forum
terkenal atau menjadi perwakilan negara dalam kancah internasional pemberitaan
yang dinaikkan tidak pernah hanya memandang kemampuan dan usaha si perempuan.
Selalu ada embel-embel seperti ‘cantik’, ‘tinggi’, ‘berambut panjang’, ‘manis’.
Atau sosok suami atau lelaki lain yang ada kaitannya dengan perempuan
berprestasi tadi.
Perasaan aman jauh dari
perempuan. Perempuan berjalan atau duduk ditempat umum, siang apalagi malam,
kerap diikuti dengan ancaman, teror catcalling
yang biasa dianggap candaan malahan ada pula yang menempatkannya sebagai
sapaan. Lebih parah potensi kekerasaan seksual yang sangat tinggi mengancam
kemerdekaan perempuan sebagai manusia. Kita tentu masih ingat dengan YY (14)
yang tewas diperkosa oleh 14 pemuda.
Belum lagi kasus WA
(15) dipenjara,walau sudah ditangguhkan, karena perkara aborsi. WA (15) hamil
karena diperkosa oleh kakaknya sendiri.Menunjukkan pemerintah sendiri tidak
membiarkan perempuan untuk merdeka seutuhnya. Banyak cerita perempuan yang
menjadi korban dari kekerasaan seksual malah merasa bersalah dan semakin frustasi
ketika harus mengadukan laporan kekerasan seksual yang mereka hadapi. Belum
lagi ‘solusi sesat’ untuk menikahkan pelaku dengan korban pemerkosaan.
Perempuan juga Berjuang
Perempuan juga Berjuang
Jika kita melihat
perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Terdapat peran perempuan yang juga
berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, Putri Lopian, Laksamana Malayati, Martha Christina Tiahahu. Mereka dengan bergeriliya tanpa gentar untuk
berusaha mempertahankan tanah bangsanya.
Bukan
hanya terjun langsung di medan tempur. Para perempuan juga punya kontribusi
dalam mengonsep kemerdekaan dan falsafah Indonesia. Maria Ulfah Santoso, seorang aktivis
hak asasi perempuan dan politikus Indonesia. Dia
adalah anggota Komite Kerja Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Perempuan
lainnya ialah Siti Sukaptinah Soenarjo
Mangoenpoespito salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1944.
Ada nama perempuan lain yang juga
berkontribusi dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, seperti Fatmawati yang
menjahit bendera Indonesia, S.K Trimurti menjadi saksi proklamasi Kemerdekaan
bersama Mudjasih Yusman. Yuliari Markoem bertugas sebagai anggota kelompok
mahasiswa penaikan bendera pusaka. Gonowati Djaka Sutadiwiria sebagai anggota
pengamanan Proklamasi Kemerdekaan dari pembubaran tentara Jepang.
Hal ini mengingatkan kembali pada Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 : “ Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan
di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.” Bukankah para perempuan termasuk pihak yang berhak didalamnya
?